Rabu, Februari 25, 2009

Cendikiawan Muslim

Ikhwâfillâh…

Sebagai pemuncak peradaban terbaik di dunia, Islâm telah menorehkan begitu banyak warisan kepada umat manusia. Karya mereka tak lagi sebatas kitab-kitab klasik yang menjadi rujukan hingga kini. Bahkan lebih dari itu, ia telah menyentuh segenap sendi-sendi kehidupan masyarakat. Ragam warisan tersebut bisa kita rasakan pada seni arsitektur bangunan, tatanan kota , ilmu astronomi, budaya dan berbagai khazanah lainnya. Yang pasti, ilmu kedokteran adalah satu dari sekian banyak warisan berharga dalam torehan sejarah peradaban umat manusia. Berbeda dengan ilmuwan lain, para ilmuwan muslim tetap mengacu kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai pijakan utama dalam mengembangkan ilmu-ilmu kedokteran mereka. Hal ini terus mereka lakoni hingga menapak puncak pencapaian terbaik dalam peradaban dunia.

Dalam mengembangkan ilmu kedokteran, para ilmuwan tak bekerja sendirian. Namun mereka bekerja sama dengan sang khalifah sebagai pemegang tampuk kekuasaan pada saat itu. Langkah pertama yang mereka lakukan adalah gerakan terjemah. Berbagai literatur kedokteran dari bangsa-bangsa lain utamanya Yunani mereka terjemahkan dalam bahasa Arab. Hal ini berlangsung pada abad ke-7 hingga ke-8 Masehi. Adalah al-Ma'mun seorang khalifah dari Dinasti ‘Abbasiyyah yang sangat berperan dalam gerakan terjemah tersebut. Selain memberikan dorongan moril, khalifah tak segan–segan menawarkan bayaran yang tinggi kepada para mutarjîm (penerjemah) saat itu. Hasilnya, mereka saling berlomba-lomba menerjemahkan berbagai karya-karya kuno dan literatur penting lainnya ke dalam bahasa Arab. Berkat usaha tak kenal lelah, akhirnya gerakan terjemah literatur yang berlangsung pada abad ke-7 dan ke-8 M menuai hasilnya.

Pada abad-abad selanjutnya, dunia kedokteran Islâm begitu pesat berkembang. Jauh meninggalkan bangsa-bangsa lain yang masih terpuruk dengan segala doktrin kebodohannya. Ibaratnya, kota London dan Paris masih tenggelam dengan jalanan berlumpurnya. Kota-kota Islâm telah penuh kemilau dengan segala pesona dan khazanah peradaban yang tinggi. Puncak masa keemasan terjadi pada abad 9 hingga 13 M. Dunia kedokteran Islâm berkembang begitu pesat. Sejumlah Rumah sakit nan megah berdiri di berbagai wilayah kaum muslimin. Pada masa tersebut, rumah sakit berperan ganda. Ia tak hanya berfungsi sebagai tempat merawat dan mengobati pasien sakit, tapi juga sebagai media para dokter muslim bertukar wawasan dan menimba ilmu pengetahuan. Cikal bakal rumah sakit sendiri telah ada sejak masa Rasulullâh Shallalâhu 'alaihi wa Sallâm di Madinah.

Ikhwâfillâh…

Dalam berbagai peperangan, Rasulullâh sealu membawa pasukan khusus yang berperan sebagai tim medis. Mereka telah menyiapkan berbagai peralatan dan perbekalan medis yang diangkut oleh beberapa onta. Bak klinik berjalan, tim medis ini bertugas merawat dan mengobati tentara muslim yang terluka dalam peperangan. Mereka berpindah-pindah dari satu kancah peperangan ke kancah lain. Dalam sejarah tercatat, rumah sakit pertama yang dibangun kaum muslimin berdiri di kota Damaskus, Syiria pada masa pemerintahan Khalifah al-Walid (706 M) dari Dinasti Umayyah. Seiring waktu berjalan, rumah sakit tersebut dinamai an-Nûri. Diambil dari nama Khalifah Nuruddin Zanki. Seorang pahlawan Islâm dalam sejarah Perang Salib. Dengan segala kemajuannya, rumah sakit Islâm an-Nûri telah menerapkan rekam medis (medical record). Sebuah terobosan awal yang sangat langka pada masa tersebut.

Dalam perkembangannya, rumah sakit an-Nûri juga berperan ganda sebagai sekolah kedokteran. Sederet ilmuwan ternama menjadi alumni dari almamater an-Nûri. Diantara mereka adalah Ibn an-Nafis (1208-1288 M), ilmuwan muslim penemu teori sirkulasi paru-paru. Salah satu karyanya yang sangat terkenal adalah Mujaz al-Qanûn. Sebuah buku berisi revisi atas tulisan Ibn Sina sebelumnya. Di kota Baghdad sendiri berdiri sejumlah rumah sakit besar. Diantaranya, rumah sakit Baghdad pada masa pemerintahan Khalifah Harun ar-Rasyîd. Rumah sakit ini dikepalai langsung oleh ar-Razî (841-926 M), seorang dokter spesialis peyakit dalam. Oleh barat, ia mendapat sebutan Razes. Pemilik nama lengkap Abu Bakar Mohammad Ibn Zakariya ar-Razî ini juga menjabat dokter pribadi khalifah. Berbagai karya monumental lahir lewat tangannya. Diantaranya berjudul al-Mansûri (Liber al-Mansofis), al-Murshîd (tentang pengobatan berbagai penyakit), dan al-Hawi yang terdiri dari 22 volume. Rumah sakit lainnya di Baghdad adalah al-Adudi (982 M). Nama bangunan tersebut diambil dari nama Khalifah Adud ad-Daulah. Sebuah bangunan termegah dan terlengkap peralatannya pada masanya. Sebelumnya Abu Bakar ar-Razî, sang konsultan rumah sakit meletakkan potongan daging yang digantung di beberapa tempat di wilayah sekitar sungai Tigris .

Hal ini menguji potongan daging tersebut dengan pendekatan bio sistem. Tempat dimana daging itu lama baru membusuk menandakan tempat yang layak mendirikan rumah sakit. Manajemen perawatan yang tertata rapi menjadi ciri khas rumah sakit al-Adudi. Para pasien juga dibedakan antara pasien inap dan non inap. Tentunya dengan servis dan pelayanan yang berbeda. Sayang, kini ia tinggal kenangan. Bangunannya hancur pada masa invasi tentara Tartar pimpinan Hulagu Khan menyerbu Baghdad (1258 M). Tak cuma Baghdad , di beberapa wilayah lainnya, ilmu kedokteran Islam juga terus mengalami perkembangan. Di Mesir misalnya, tepatnya di kota al-Fustat (sekarang Kairo), Ahmad ibn Tulun membangun rumah sakit al-Fusta (872 M). Rumah sakit ini dilengkapi dengan perpustakaan yang kaya akan literatur medis. Di Tunisia, berdiri bangunan megah bernama rumah sakit al-Qairawan (830 M) di wilayah kota ad-Dimnah. Rumah sakit ini bahkan sudah menerapkan sekat pemisah antara ruang tunggu pengunjung dan pasien. Bangunan rumah sakit yang lain bisa kita jumpai di Maroko. Di sana Khalifah al-Manshur Ya'qub ibn Yusuf mendirikan rumah sakit Marakesh. Arsitektur yang indah menjadi daya tarik tersendiri bangunan ini. Sebab ia dihiasi taman bunga dan penuh dengan pohon buah-buahan. Di kota lainnya, Granada juga berdiri bangunan rumah sakit Granada (1366 M).

Ikhwâfillâh…

Di kota Yerussalem, berdiri sebuah rumah sakit bernama as-Sahalani (1055 M). Oleh Panglima Shalahuddin al-Ayyubi nama rumah sakit ini berganti menjadi as-Salahani Hospital . Sebelumnya ia pernah bernama rumah sakit Saint pada era pasukan Salibis berkuasa. Di tangan Shalahuddin, rumah sakit ini mengalami perluasan dan pembenahan hingga akhirnya bangunan rumah sakit lantak terkena gempa bumi kala itu (1458 M). Lengkapnya sarana dan prasarana kedokteran merangsang para ilmuwan terus berprestasi di bidangnya masing-masing. Hasilnya, sejumlah tokoh kedokteran muslim bersinar dengan keahlian dan spesialis yang berbeda-beda. Diantara mereka muncul Judis ibn Bahtishu, dekan sekolah kedokteran di Baghdad, Ibn Maimun, Abu Bakar ar-Razî, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan az-Zahrawi atau Abulcasis (930-1013 M), seorang dokter gigi dan ahli bedah terkemuka di Arab.

Alumnus Universitas Cordoba ini juga menjabat dokter istana pada masa Khalifah Abdel Rahman III. Tokoh kedokteran lainnya adalah Ibn an-Nafis, kepala rumah sakit al-Manshuri di Kairo, Ibnu Wafid Al-Lakhm, dokter terkemuka di Andalusia, Ibnu Tufail (1100-1185 M), dan al-Ghafiqi, seorang tabib kolektor tumbuh-tumbuhan herbal dari Spanyol dan Afrika. Ibnu Sina atau lebih terkenal dengan sebutan Avicenna (980-1037 M) ini mulai meroket ketika ia membukukan berbagai teori dan penelitiannya di bidang medis. Salah satu karya fenomenalnya adalah al-Qanûn fî at-Thibb atau Canon of Medicine. Sebuah karya yang menjadi rujukan utama sekolah-sekolah kedokteran di Eropa hingga abad 17.

Kitab tersebut berisi ensiklopedia kesehatan dan kedokteran yang yang mencapai satu juta kata! Legenda medis lainnya adalah Ibnu Rusyd atau Averroes (1126-1198 M). Setara dengan Ibnu Sina, kontribusi Ibnu Rusyd dalam bidang kedokteran tak sebatas dalam lingkup umat Islam semata. Bahkan karya-karyanya telah merambah hingga belahan benua Eropa. Diantara karyanya berjudul al-Kulliyat fî at-Thibb (Colliyet). Buku tersebut memuat rangkuman ragam ilmu kedokteran. Buku lainnya berjudul at-Taisir. Sayang, kilau ilmu pengetahuan yang pernah memancar dari peradaban Islâm meredup perlahan. Pasca abad 13 M, ilmu kedokteran yang berkembang lewat pakar-pakar muslim mengalami stagnan. Beberapa bangunan fisik rumah sakit dan perpustakaan masih berdiri hingga kini. Namun ia tak sanggup lagi memancarkan sinar kemilau. Bahkan cahayanya kian redup seiring kemunduran umat Islam pada masa itu.

Sumber : www.wahdah-jakarta.com oleh : abu jaulah

0 komentar:

Posting Komentar

Berbagi ilmu dengan yang lain akan lebih bermanfaat.